k
Rintisan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) telah berjalan lima tahun, sejak dimulai pada tahun pelajaran 1999/2000. Evaluasi yang dilakukan oleh Tim dari Universitas Negeri Semarang untuk SLTP dan Tim dari Inspektorat Jenderal Depdiknas untuk SMU, keduanya memberikan nilai positif. Artinya sebagian besar (hampir 80%) sekolah peserta rintisan berjalan dengan baik, sehingga memberi harapan besar program tersebut dapat diperluas jangkauannya. Hal ini juga dibuktikan dengan hasil monitoring dan evaluasi selama tiga tahun terakhir (tahun 2002, 2003, 2004) berturut-turut terhadap 3000 SMP pelaksana MPMBS oleh Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama yang bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi di Indonesia menyimpulkan bahwa MPMBS telah memberikan manfaat yang besar bagi sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikannya, baik secara akademik maupun non akademik.
Bertolak dari itu pola MPMBS diharapkan masih bisa terus diterapkan oleh semua sekolah, dan bahkan sekarang telah lebih meningkat lagi menjadi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Undang-undang nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) secara jelas menyebutkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan pola pembinaan sekolah/lembaga pendidikan di Indonesia. Demikian juga, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 51 secara tegas dinyatakan “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah” (ayat 1) dan “Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan” (ayat 2). Hal ini juga lebih didukung oleh adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, dimana secara langsung atau tidak, daerah dan sekolah memiliki kewenangan untuk menyelenhggarakan pendidikan secara otonomi dan bertanggungjawab.
Memang pada awal rintisan MPMBS, sekolah yang menjadi rintisan mendapatkan dana BOMM (bantuan operasional manajemen mutu). Namun harus difahami bahwa dana BOMM hanyalah dana pancingan. Pada akhirnya, semua sekolah diharapkan menerapkan MPMBS tanpa dikaitkan dengan dana insentif tertentu. Sekolah diharapkan dapat menggunakan dana yang selama ini dimiliki, tetapi menggunakan manajemen sekolah dengan prinsip-prinsip MPMBS. Dan, mulai tahun 2004 dana tersebut telah dialihkan (dekonsentrasi) ke propinsi dalam bentuk school grant untuk dapat dimanfaatkan dalam pelaksanaan MPMBS. Mengingat adanya berbagai perubahan peraturan dan juga dari hasil kajian selama ini, maka mulai tahun 2005 ini sepenuhnya sekolah rintisan MPMBS diharapkan lebih meningkatkan pengelolaan pendidikannya dengan mengacu sepenuhnya pola MBS.
Dari berbagai studi, termasuk monitoring pelaksanaan MPMBS ditemukan bahwa salah satu kelemahan sekolah adalah dalam penyusunan rencana pengembangan sekolah. Bahkan baru sedikit sekolah yang memiliki rencana pengembangan sekolah secara komprehensif. Sekolah pada umumnya memiliki rencana kegiatan tahunan, tetapi jarang yang memiliki rencana pengembangan untuk jangka panjang. Di samping itu, banyak sekolah yang dalam menyusun rencana kegiatan tahunan terkesan berorientasi pada “penggunaan” dana yang dimiliki, bahkan ada sekolah yang jika ditanyakan rencana kegiatan tahunan menunujukkan RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah).
Di pihak lain, para ahli sepakat bahwa rencana pengembangan sekolah sangat penting sebagai “kompas” dan pemandu semua pihak, ke arah mana sekolah akan dikembangkan. Fenomena munculnya rencana kegiatan tahunan yang bernuansa “penggunaan” dana yang dimiliki, diduga disebabkan oleh kekurangfahaman sekolah terhadap cara penyusunan rencana pengembangan sekolah. Akibatnya, ketika sekolah harus membuat rencana kegiatan tahunan, yang terjadi adalah bagaimana memanfaatkan anggaran yang tersedia sebaik mungkin.
Tidak adanya rencana pengembangan sekolah yang komprehensif juga menyebabkan rencana kegiatan tahunan sekolah tidak berkesinambungan dari tahun ke tahun. Setiap saat arah pengembangan sekolah dapat bergeser atau berubah diwarnai oleh isu yang hangat pada saat itu. Tidak adanya rencana pengembangan sekolah juga menyebabkan sekolah mudah dipengaruhi oleh isu hangat, karena tidak memiliki “kompas” ke mana sekolah harus dikembangkan.
Jika dicermati ternyata sampai saat ini memang belum ada panduan penyusunan rencana pengembangan sekolah yang komprehensif. Memang sekolah dapat membaca dari buku teks yang telah terbit dari berbagai pengarang, namun sebagaimana diketahui kemampuan membaca buku teks dari warga sekolah masih sangat terbatas, apalagi bagi sekolah yang berlokasi di luar kota besar. Oleh karena itu dirasa perlu menerbitkan panduan penyusunan rencana pengembangan sekolah. Buku ini merupakan penyempurnaan Buku II seri MPMBS edisi ke-4 tahun 2002, dengan judul Panduan Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) atau Proposal dan Pelaporan.
B. Tujuan
Secara umum buku ini ditulis dengan tujuan memberi panduan kepada sekolah dalam menyusun rencana pengembangan sekolah (RPS).
C. Manfaat
Buku ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam memandu sekolah menyusun rencana pengembangan diri, khususnya pada tahap penyusunan rencana startegis dan rencana kegiatan tahunan.
PENYUSUNAN RENCANA PENGEMBANGAN SEKOLAH | BAB II |
Rencana Pengembangan Sekolah merupakan rencana yang komprehensif untuk mengoptimalkan pemanfaatkan segala sumberdaya yang ada dan yang mungkin diperoleh guna mencapai tujuan yang diinginkan di masa datang. Rencana pengembangan sekolah harus berorientasi ke depan dan secara jelas bagaimana menjembatai antara kondisi saat ini dan harapan yang ingin dicapai di masa depan.
Rencana pemgembangan sekolah merupakan rencana yang secara komprehensif memperhatikan peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal, memperhatikan kekuatan dan kelemahan internal, dan kemudian mencari dan menemukan strategi dan program-program untuk memanfaatkan peluang dan kekuatan yang dimiliki, mengatasi tantangan dan kelemahan yang ada, guna mencapai visi yang diinginkan.
Dengan demikian dalam rencana pengembangan sekolah harus tergambar secara jelas:
1. Visi sekolah yang menunjukkan gambaran sekolah di masa datang (jangka panjang) yang diinginkan.
2. Misi sekolah yang merupakan tindakan/upaya untuk mewujudkan visi sekolah yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Tujuan pengembangan sekolah yang merupakan apa yang ingin dicapai dalam upaya pengembangan sekolah pada kurun waktu jangka menengah, misalnya untuk 3-6 tahun.
4. Tantangan nyata, yaitu kesenjangan (gap) dari tujuan yang diinginkan dan kondisi sekolah saat ini. Dengan demikian tantangan nyata itulah yang sebenarnya harus diatasi oleh sekolah.
5. Sasaran pengembangan sekolah, yaitu apa yang diinginkan sekolah untuk jangka pendek, misalnya untuk satu tahun.
6. Identifikasi fungsi-fungsi yang berperan penting dalam pencapaian sasaran tersebut.
7. Analisis SWOT terhadap fungsi-fungsi tersebut, sehingga ditemukan kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (oportunity) dan ancaman (threat)dan setiap fungsi yang telah diidentifikasi sebelumnya.
8. Identifikasi alternatif langkah untuk mengatasi kelemahan dan acaman denga memanfaatkan kekuatan dan peluang yang dimiliki sekolah.
9. Rencana dan program sekolah yang dikembangkan dari alternatif yang terpilih, guna mencapai sasaran yang ditetapkan.
Dari uraian di atas tampak bahwa rencana pengembangan sekolah akan memandu semua warga sekolah bagaimana mengembangkan sekolah, ke mana sekolah akan dikembangkan dan langkah apa yang harus ditempuh untuk melaksanakannya.
Dalam menyusun rencana pengembangan sekolah harus melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholder), misalnya guru, siswa, tata usaha/kryawan, orangtua siswa, tokoh masyarakat yang memiliki perhatian kepada sekolah. Dengan cara itu diharapkan rencana pengembangan sekolah menjadi “milik” semua warga sekolah dan pihak lain yang terkait.
Pelibatan tersebut tentu saja sesuai dengan kemampuan masing-masing, artinya setiap orang dilibatkan sesuai dengan kemampuan dan kepentingannya. Yang penting dijaga adalah “rasa terwakili” dalam proses penyusunan dan “rasa memiliki” terhadap hasil. Seluruh warga sekolah harus merasa ikut menentukan dala proses penyusunan renstra, sehingga merasa ikut memiliki renstra tersebut, dan pada akhirnya merasa wajib untuk melaksanakannya.
Rencana pengembangan sekolah sebenarnya secara komprehensif mencakup harapan jangka panjang yang ditunjukkan oleh visi sekolah, harapan jangka menengah yang ditunjukkan oleh tujuan sekolah dan sasaran jangka pendek sekaligus bagaimana mencapai sasaran tersebut. Jika tahapan tersebut dilakukan secara konsisten, maka ketercapaian sasaran demi sasaran pada akhirnya akan berakumulasi menjadi ketercapaian tujuan dan akhirnya mencapai visi sekolah.
Perlu dicatat bahwa ketika rencana dan program tahunan sekolah telah disusun, berikutnya diikuti dengan penyusunan rencana anggaran sekolah, yang pada umumnya disebut dengan RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah). Jadi RAPBS adalah dukungan “anggaran” untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
Tahapan penyusunan rencana pengembangan sekolah yang disebutkan terdahulu, harus dilakukan secara beurutan. Setiap tahap memerlukan tahapan sebelumnya sebagai dasar penyusunannya. Sebagai contoh, misi sekolah baru dapat disusun setelah visi disusun dan ditetapkan. Sasaran baru dapat ditetapkan setelah tujuan sekolah yang ditetapkan “dikonfrontasikan” dengan keadaan sekolah saat ini, sehingga ditemukan tantangan nyata sekolah. Rencana dan program baru dapat disusun setelah dilakukan identifikasi alternatif pemecahan masalah dan dipilih alternatif yang terbaik. RAPBS baru dapat dibuat setelah rencana dan program disusun. Bukankah RAPBS merupakan dukungan anggaran untuk melaksanakan program sekolah. Langkah-langkah tersebut secara skematik ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1
Langkah-langkah Penyusunan Rencana
Pengembangan Sekolah
Visi adalah imajinasi moral yang menggambarkan profil sekolah yang diinginkan di masa datang. Imajinasi ke depan seperti itu akan selalu diwarnai oleh peluang dan tantangan yang diyakini akan terjadi di masa datang. Setiap orang, tanpa disadari dan tanpa dirumuskan secara jelas sebenarnya juga punya visi. Seorang pemuda, mungkin mencita-citakan bagaimana keluarga yang diinginkan ketika besuk sudah menginjak usia tua. Mungkin terbayangkan memiliki seorang istri yang sabar dan setia, anak-anak yang cerdas, sholeh dan berbakti pada orangtua, pekerjaan yang bagus, penghasilan yang cukup, rumah yang nyaman dengan tetangga yang rukun dan seterusnya. Analog dengan itu, mungkin kita mengimajinasikan sekolah yang bermutu bagus, diminati oleh masyarakat, memiliki jumlah guru yang cukup dengan kualitas yang baik, fasilitas sekolah yang baik, dan sebagainya. Itulah yang disebut visi seseorang dan visi sekolah.
Dalam menentukan visi tersebut, sekolah harus memperhatikan perkembangan dan tantangan masa depan. Berikut itu beberapa contoh perkembangan ke depan yang perlu diperhatikan, antara lain: (1) perkembangan iptek begitu cepat akan berpengaruh pada semua aspek kehidupan termasuk teknologi pendidikan, (2) era global akan menyebabkan lalu lintas tenaga kerja sangat mudah, sehingga akan banyak tenaga kerja asing di Indonesia, sebaliknya banyak tenaga kerja Indonesia di luar negeri (3) era informasi yang menyebabkan siswa dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber sehingga guru dan sekolah bukan lagi satu-satunya sumber informasi, (4) era global tampaknya juga berpengaruh terhadap perilaku dan moral manusia, sehingga sekolah diharapkan berperan menanamkan akhlaq kepada siswa, (5) kesadaran orangtua akan pentingnya pendidikan yang baik bagi anaknya ternyata paralel dengan persaingan antar sekolah untuk menggaet anak yang pandai dengan orangtua yang penuh perhatian, sehingga sekolah yang mutunya jelek akan ditinggalkan mereka, (6) di era AFTA yang sebentar lagi dimulai bahasa Inggris akan sangat penting untuk sarana komunikasi di dunia kerja, (7) di era AFTA juga sangat mungkin terjadi pembukaan “cabang” sekolah luar negeri di kota besar di Indonesia, serta (8) masyarakat semakin faham bahwa pendidikan bukan hanya untuk hal-hal yang bersifat kognitif, sehingga prinsip multiple intelegence menjadi salah satu harapan, dan sebagainya.
Tantangan tersebut perlu direspons oleh sekolah, sehingga visi sekolah akan mampu mengakomodasi sekaligus memanfaatkan peluang yang terkandung pada perkembangan tersebut. Dengan kata lain kondisi sekolah yang ingin dicapai di masa datang sudah sesuai dengan arah perkembangan tersebut.
Namun demikian visi sekolah harus tetap berada dalam koridor kebijakan pendidikan nasional. Artinya visi suatu sekolah harus mengacu kepada kebijakan umum pendidian yang tekah ditetapkan secara nasional. Hal itu penting difahami untuk menghindari terjadinya kekeliruan bahwa sekolah “bebas” menentukan visinya dan tidak terkait dengan kebijakan pihak lain. Bukankah sekolah merupakan lembaga penyelenggara pendidikan dan pendidikan itu di atur dalam suatu sistem pendidikan nasional? Jadi tentu sekolah harus berada dalam koridor sistem pendidikan nasional tersebut. Sebagai contoh, Indonesia menganut adanya kurikulum nasional. Jadi setiap sekolah harus menggunakan kurikulum tersebut, dengan pemahaman sebagai kurikulum minimal. Namun sekolah memiliki “ruang gerak” untuk menjabarkan lebih lanjut, agar pelaksanaannya sesuai dengan kondisi sekolah. Misalnya menambah dengan muatan lokal, dan mengatur proses pembelajaran sebagai jabaran kurikulum.
Di samping itu visi sekolah juga harus mempertimbangkan potensi yang dimiliki sekolah dan harapan masyarakat di sekitar sekolah. Artinya jenis dan mutu layanan pendidikan seperti apa yang diharapkan oleh orangtua dan masyarakat sekitar sekolah. Juga harus dipertimbangkan apa potensi yang dimiliki sekolah untuk mewujudkan harapan tersebut. Hal ini penting, agar visi sekolah tidak hanya berupa “mimpi” yang tidak mungkin dapat diwujudkan. Visi haruslah tinggi, tetapi juga realistik, sehingga dapat dicapai walaupun dengan upaya yang sungguh-sungguh.
Visi juga harus sesuai dengan harapan masyarakat yang dilayani sekolah. Bukankah visi itu untuk siswa? Jadi siswa itulah yang pada hakekatnya akan “menikmati” keterwujudan visi, karena memang sekolah pada dasarnya membantu siswa untuk mengembangkan diri.
Dengan demikian visi sekolah haruslah berada dalam koridor pendidikan nasional, memenuhi tantangan masa depan dan harapan masyarakat, serta realistik karena memepertimbangkan potensi yang dimiliki.
Sekolah adalah “milik” orang banyak. Banyak pihak yang terkait dengan sekolah, yang biasanya disebut sebagai stakeholder (kelompok kepentingan). Guru, karyawan, siswa, orangtua siswa, pemerintah bahkan masyarakat adalah contoh dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan sekolah. Oleh karena itu dalam merumuskan visi sekolah, kelompok kepentingan tersebut harus diajak bermusyawarah dan didengar pendapatnya. Dengan cara itu visi sekolah telah mewakili aspirasi stake holder dan mereka merasa “memiliki” visi tersebut yang pada gilirannya diharapkan terdorong untuk bersama-sama berperan aktif dalam mewujudkannya.
Visi pada umumnya dirumuskan dengan kalimat yang filosofis, bahkan seringkali mirip sebuah slogan. Sering pula dirumuskan dalam bentuk kalimat yang khas, mudah diingat dan terkait dengan istilah tertentu. Dalam keluarga, misalnya ada orang yang merumuskan visinya mewujudkan “keluarga yang harmonis dan berkecukupan”. Tentunya visi “keluarga harmonis dan berkecukupan” sebenarnya mengandung ciri-ciri yang digambarkan si perumus, misalnya selalu rukun, memiliki anak-anak yang sholeh, cerdas dan berbakti pada orangtua, memiliki pekerjaan dan penghasilan yang baik, memiliki rumah yang nyaman dan sebagainya.
Sekolah juga dapat merumuskan visinya dalam bentuk kalimat filosofis agar mudah diingat dan bahkan menjadi “semboyan” bagi warga sekolah. Misalnya ada sebuah sekolah “X” yang kebetulan berlokasi di perkotaan merumuskan visinya (hanya sekedar bahan banding dan sekolah Anda seharusnya merumuskan yang lain):
“UNGGUL DALAM PRESTASI BERDASARKAN
IMAN DAN TAQWA”
Sekolah lain, yang kebetulan berlokasi di daerah pedesaan merumuskan visinya sebagai berikut (ini juga sekedar bahan banding, Anda seharusnya merumuskan yang lain):
“BERIMAN, TERDIDIK, DAN BERBUDAYA”
Kedua visi tersebut berbeda tetapi semuanya benar. Keduanya cukup singkat dan mampu memberi gambaran karateristik sekolah yang diinginkan di masa datang. Keduanya juga tidak menyimpang dari koridor pendidikan nasional, karena pendidikan yang unggul, berdasarkan pada iman, taqwa, budaya bangsa memang merupakan prinsip-prinsip pendidikan nasional. Menurut Undang-undang tentang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Demikian juga pada PP nomor 28/90, yang dimaksud dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama adalah bentuk satuan pendidikan dasar yang menyelenggarakan program tiga tahun. Tujuan pendidikan dasar, sebagaimana tercantum pada Bab II Pasal 3 adalah untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya, sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah.
Yang mungkin masih perlu dilacak pada kedua visi tersebut adalah, apakah memang benar-benar sesuai dengan potensi sekolah setempat serta harapan masyarakat yang dilayani.
Dari urian di atas serta dua contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa rumusan visi yang baik seharusnya memberikan isyarat:
a. Berorientasi ke masa depan, untuk jangka waktu yang lama.
b. Menunjukkan keyakinan masa depan yang jauh lebih baik, sesuai dengan norma dan harapan masyarakat.
c. Mencerminkan standar keunggulan dan cita-cita yang ingin dicapai.
d. Mencerminkan dorongan yang kuat akan tumbuhnya inspirasi, semangat dan komitmen warga.
e. Mampu menjadi dasar dan mendorong terjadinya perubahan dan pengembangan sekolah ke arah yang lebih baik.
f. Menjadi dasar perumusan misi dan tujuan sekolah.
Sebagaimana disebut terdahulu, visi yang dirumuskan dengan kalimat filosofis perlu diberikan indikatornya. Misalnya, apa indikator sekolah yang “unggul dalam prestasi berdasarkan iman dan taqwa” tersebut. Indikator sebaiknya mencakup segala aspek pokok yang diimajinasikan. Sebagai bahan banding, visi “unggul prestasi berdasarkan iman dan taqwa” memiliki indikator:
a. Unggul dalam peningkatan skor (gain score achievement –GSA) b. Unggul dalam peningkatan pencapaian ketuntasan kompetensi
c. Unggul dalam berbagai lomba karya ilmiah remaja.
d. Unggul dalam kegiatan keagamaan.
e. Unggul dari prestasi olahraga.
f. Unggul dari prestasi kesenian.
g. Memiliki lingkungan sekolah yang nyaman dan kondusif untuk belajar.
h. Mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Dua visi dan disertai indikator tersebut hanyalah bahan banding dan hanya cocok dengan sekolah yang bersangkutan. Oleh karena itu sekolah lain dianjurkan merumuskan visinya sendiri, yang sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing. Mungkin sekali rumusan maupun indikatornya berbeda dengan contoh/bahan banding di atas.
Setelah visi dirumuskan dan indikator telah ditetapkan, maka tahap selanjutnya adalah merumuskan misi sekolah.
Sebagaimana disebutkan pada Buku I, misi adalah tindakan atau upaya untuk mewujudkan vidi. Jadi misi merupakan penjabaran visi dalam bentuk rumusan tugas, kewajiban, dan rancangan tindakan yang dijadikan arahan untuk mewujudkan visi. Dengan kata lain, misi adalah bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya. Sebagai contoh, sekolah ‘X’ merumuskan misinya sebagai berikut:
a. Melaksanakan pembelajaran dan bimbingan secara efektif, sehingga setiap siswa dapat berkembang secara optimal, sesuai dengan potensi yang dimiliki.
b. Menumbuhkan semangat keunggulan secara intensif kepada seluruh warga sekolah.
c. Mendorong dan membantu setiap siswa untuk mengenali potensi dirinya, sehingga dapat dikembangkan secara lebih optimal.
d. Menumbuhkan penghayatan terhadap ajaran agama yang dianut dan juga budaya bangsa, sehingga menjadi sumber kearifan dalam bertindak.
e. Menerapkan manajemen partisipatif dengan melibatkan seluruh warga sekolah dan komite sekolah.
Dari contoh tersebut, tampak bahwa rumusan misi selalu dalam bentuk kalimat yang menunjukkan “tindakan” dan bukan kalimat yang menunjukkan “keadaan” sebagaimana pada rumusan visi.
Bertolak dari visi dan misi, selanjutnya sekolah merumuskan tujuan. Jika visi dan misi terkait dengan jangka waktu yang sangat panjang, maka tujuan dikaitkan dengan jangka waktu menengah. Dengan demikian tujuan pada dasarnya merupakan tahapan atau langkah untuk mewujudkan visi sekolah yang telah dicanangkan. Sebaiknya tujuan tersebut dikaitkan dengan silum program sekolah, misalnya untuk jangka 3 tahunan, yaitu satu siklus pendidikan di SMP atau SMA. Jika itu dianggap terlalu pendek dapat juga untuk 2 siklus program sekolah yang berari 6 tahun.
Jika visi merupakan gambaran sekolah di masa depan secara ideal, maka tujuan yang ingin dicapai dalam jangka waktu 3 tahun mungkin belum selengkap visi. Dengan kata lain, tujuan dapat berwujud sebagian dari visi. Sebagai contoh, sekolah ‘X’ yang telah menetapkan visi dengan indikator sebanyak 8 aspek, tetapi tujuan sekolah sampai dengan 3 tahun ke depan baru mencakup 4 aspek, sebagai berikut:
Jika pada saat ini tahun 2001, tujuan sekolah ‘X’ adalah:
a. Pada tahun 2004, peningkatan skor (GSA) minimal +2,0
b. Pada tahun 2005, memiliki kelompok KIR yang mampu menjadi finalis LKIR tingkat nasional.
c. Pada tahun 2005, memiliki tim olahraga minimal 3 cabang yang mampu menjadi finalis tingkat Propinsi.
d. Pada tahun 2005, memiliki tim kesenian yang mampu tampil pada acara setingkat Kota.
Sekali lagi empat tujuan tersebut sekedar contoh atau bahan banding. Setiap sekolah dianjurkan untuk menyusun tujuan sekolah yang sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing. Tentu saja berdasarkan visi dan misi sekolah yang telah dirumuskan sebelumnya.
Sebagaimana dijelaskan di bagian depan, tantangan nyata sebenarnya merupakan gap (kesenjangan) antara tujuan yang ingin dicapai sekolah dengan kondisi sekolah saat ini. Jadi tantangan nyata itulah yang harus “diatasi” selama kurun waktu tertentu. Misalnya, jika dalam tiga tahun ke depan dicanangkan tujuan untuk mencapai GSA sebesar +2, sementara saat ini baru mencapai +0,4 berarti tantangan nyata yang dihadapi sekolah adalah (+2) – (+0,4) = (+1,6). Jika saat ini sekolah baru mencapai juara ketiga pada LKIR tingkat kabupaten, sedangkan tujuan sekolah ingin mencapai juara pertama, maka tantangan nyata yang dihadapi sekolah adalah “dua peringkat”, yaitu dari juara ketiga menjadi juara pertama.
Tantangan nyata tidak dapat selalu dirumuskan sebagai “rumusan matematik”. Misalnya sebuah sekolah mencantumkah salah tujuan pengembangan sekolah 6 tahun ke depan adalah menjadi juara II pada LKIR tingkat nasional, pada hal saat ini baru mencapai juara I tingkat kabupaten. Nah, dalam kasus seperti ini tantangan tidak dapat dirumuskan secara matematik sederhana, karena juara II tingkat nasional tidak dapat dibandingkan langsung dengan juara I tingkat kabupaten. Yang dapat dirumuskan adalah sekolah tersebut harus mampu melewati peringkat-peringkat finalis tingkat propinsi, juara III, juara II, juara I tingkat propinsi, finalis tingkat nasional, juara III tingkat nasional dan baru juara II tingkat nasional. Dalam bahasa statistika, peringkat seperti itu disebut ordinal dan bukan interval, sehingga formula matematik tidak dapat diterapkan secara langsung. Namun yang penting dapat difahami makna peningkatan yang harus dilalui oleh sekolah.
Pada organisasi besar, misalnya perusahaan atau organisasi atau departemen tertentu, sesudah tujuan dirumuskan dilanjutkan dengan merumuskan strategi perusahaan/organisasi/departemen. Startegi dalam hal ini dimaksudkan sebagai “langkah besar” perusahaan/ organisasi/departemen untuk mencapai tujuannya.
Strategi tersebut disamping mengacu kepada tujuan yang ingin dicapai, juga memperhatikan kondisi sekolah saat ini, khususnya kekuatan dan peluang apa yang dapat digunakan. Misalnya sebuah sekolah yang berada pada lingkungan masyarakat yang secara sosial ekonomi sangat bagus, sementara anggaran pemerintah belum bagus, merumuskan strategi untuk mencapai tujuan sekolah adalah “menggalang partisipasi orangtua dan masyarakat”. Sekolah lain yang merasa jumlah dan kualifikasi tenaga guru cukup baik, namun prestasi akademik siswa ternyata rendah, melakukan analisis dan menemukan bahwa kondisi kerja di sekolah merupakan salah faktor penentu motivasi kerja guru dan akhirnya berujung pada mutu hasil belajar. Oleh karena itu sekolah tersebut merumuskan salah satu strateginya adalah “meningkatkan iklim kerja sekolah”.
Untuk sekolah, mungkin strategi seperti tersebut diatas tidak harus dirumuskan secara khusus. Namun perlu dipikirkan pada saat menentukan alternatif langkah-langkah pengatasan masalah (butir 8) dan penyusunan rencana dan program sekolah (butir 9), sebaiknya kedua langkah tersebut memperhatikan strategi dasar sekolah dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Rencana tahunan merupakan penjabaran dari tujuan sekolah yang telah dirumuskan berdasarkan pada kesenjangan/selisih/gap yang terjadi antara kondisi sekolah saat ini dengan tujuan sekolah untuk 4 sampai 6 tahun ke depan. Kesenjangan itu disebut juga tantangan nyata sekolah. Jadi tantangan nyata adalah selisih antara tujuan yang diinginkan dengan kenyataan yang ada saat ini.
Berdasarkan pada tantangan nyata tersebut, selanjutnya dirumuskan sasaran atau target mutu yang akan dicapai oleh sekolah. Sasaran harus menggambarkan mutu dan kuantitas yang ingin dicapai dan terukur agar mudah melakukan evaluasi keberhasilannya. Meskipun sasaran dirumuskan berdasarkan tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah, namun perumusan sasaran tersebut harus tetap mengacu pada visi, misi, dan tujuan sekolah. Untuk itu setiap sekolah harus memiliki visi, misi, dan tujuan sekolah sebelum merumuskan sasarannya.
Sasaran dapat disebut juga tujuan jangka pendek atau tujuan situasional sekolah. Sebutan tujuan situasional mengingatkan bahwa tujuan sekolah dirumuskan dengan bertolak dari hasil pengamatan atas situasi sekolah. Keterangan ‘situasi’ memberitahukan tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah saat ini. Dengan latar belakang seperti itu, maka yang dimaksud dengan sasaran/tujuan situasional adalah tujuan yang dirumuskan dengan memperhitungkan tantangan yang nyata dihadapi oleh sekolah.
Sasaran direncanakan untuk waktu yang relatif pendek, misalnya untuk satu tahun pelajaran. Dengan demikian sasaran pada dasarnya adalah tahapan untuk mencapai tujuan sekolah. Ketika menentukan sasaran, prioritas sasaran harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh. Misalnya, sekolah mencanangkan tujuan yang mencakup 5 aspek, maka sekolah perlu menyusun prioritas, apakah kelima aspek tersebut akan digarap pada tahun pertama, atau hanya beberapa aspek saja berdasarkan pertimbangan kondisi dan kemampuan sekolah.
Sebagai contoh, sekolah ‘X’ memutuskan akan menggarap ke empat aspek dari delapan aspek yang tercantum dalam tujuan. Untuk itu sekolah ‘X’ menetapkan sasaran untuk tahun ajaran 2002/2003 sebagai berikut:
a. Rata-rata GSA + 0,40 (plus nol koma empat);
b. Memiliki tim olahraga bola voli yang mampu menjadi finalis tingkat Kota/Kabupaten;
c. Memiliki kelompok Karya Ilmiah Remaja (KIR) yang mampu menjadi juara Lomba KIR tingkat Kota;
d. Memiliki tim kesenian yang berlatih secara teratur dan mengadakan pentas di sekolah.
Setelah sasaran ditentukan, selanjutnya dilakukan identifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran tersebut. Langkah ini harus dilakukan sebagai persiapan dalam melakukan analisis SWOT. Fungsi-fungsi yang dimaksud, misalnya untuk meningkatkan skor (GSA) adalah fungsi proses belajar mengajar (PBM) dan pendukung PBM, seperti: ketenagaan, kesiswaan, kurikulum, perencanaan instruksional, sarana dan prasarana, serta hubungan sekolah dan masyarakat. Selain itu terdapat pula fungsi-fungsi yang tidak terkait langsung dengan proses belajar mengajar, diantaranya pengelolaan keuangan dan pengembangan iklim akademik sekolah.
Apabila sekolah keliru dalam menetapkan fungsi-fungsi tersebut atau fungsi tidak sesuai dengan sasarannya, maka dapat dipastikan hasil analisis akan menyimpang dan tidak berguna untuk memecahkan persoalan. Untuk itu, diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam menentukan fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang ditentukan. Agar lebih mudah, dalam identifikasi fungsi dibedakan fungsi-fungsi pokok yang berbentuk proses, misalnya KBM, latihan, pertandingan, dan sebagainya serta fungsi-fungsi yang berbentuk pendukung, yang berbentuk input misalnya ketenagaan, sarana-prasarana, anggaran, dan sebagainya. Pada setiap fungsi ditentukan pula faktor-faktornya, baik faktor yang tergolong internal maupun eksternal agar setiap fungsi memiliki batasan yang jelas dan memudahkan saat melakukan analisis.
Setelah fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran telah diidentifikasi, maka langkah berikutnya adalah menentukan tingkat kesiapan masing-masing fungsi beserta faktor-faktornya melalui analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat).
Analisis SWOT sebagaimana telah dijelaskan pada Buku-1, dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Oleh karena tingkat kesiapan fungsi ditentukan oleh tingkat kesiapan masing-masing faktor yang terlibat pada setiap fungsi, maka analisis SWOT dilakukan terhadap keseluruhan faktor dalam setiap fungsi tersebut, baik faktor internal maupun eksternal.
Dalam melakukan analisis terhadap fungsi dan faktor-faktornya, maka berlaku ketentuan berikut: Untuk tingkat kesiapan yang memadai, artinya, minimal memenuhi kriteria kesiapan yang diperlukan untuk mencapai sasaran, dinyatakan sebagai kekuatan bagi faktor internal atau peluang bagi faktor eksternal. Sedangkan tingkat kesiapan yang kurang memadai, artinya, tidak memenuhi kriteria kesiapanminimal, dinyatakan sebagai kelemahan bagi faktor internal atau ancamanbagi faktor eksternal.
Untuk menentukan kriteria kesiapan, diperlukan kecermatan, kehati-hatian, pengetehuan, dan pengalaman yang cukup agar dapat diperoleh ukuran kesiapan yang tepat.
Kelemahan atau ancaman yang dinyatakan pada faktor internal dan faktor eksternal yang memiliki tingkat kesiapan kurang memadai, disebut persoalan. Untuk lebih jelas mengenai analisis SWOT dan mengetahui tingkat kesiapan fungsi dan faktornya, dapat dilihat pada Buku-1.
Selama masih adanya fungsi yang tidak siap atau masih ada persoalan, maka sasaran yang telah ditetapkan diduga tidak akan dapat tercapai. Oleh karena itu, agar sasaran dapat tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan untuk mengubah fungsi tidak siap menjadi siap. Tindakan yang dimaksud disebut langkah-langkah pemecahan persoalan, yang pada hakekatnya merupakan tindakan mengatasi kelemahan atau ancaman agar menjadi kekuatan atau peluang.
Setelah diketahui tingkat kesiapan faktor melalui analisis SWOT, langkah selanjutnya adalah memilih alternatif langkah-langkah pemecahan persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yangtidak siap menjadi fungsi yang siap dan mengoptimalkan fungsi yang dinyatakan siap.
Oleh karena kondisi dan potensi sekolah berbeda-beda antara satu dengan lainnya, maka alternatif langkah-langkah pemecahan persoalannya pun dapat berbeda, disesuaikan dengan kesiapan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya di sekolah tersebut. Dengan kata lain, sangat dimungkinkan suatu sekolah mempunyai langkah pemecahan yang berbedadengan sekolah lain untuk mengatasi persoalan yang sama.
Sebagai contoh, untuk sasaran pertama, yaitu rata-rata GSA mencapai minimal +0,40 maka harus ditentukan fungsi-fungsi apa saja berikut faktor-faktornya yang berperan penting dalam mencapai sasaran tersebut. Berdasarkan hasil evaluasi diri dan pengalaman sebelumnya, diidentifikasi bahwa fungsi yang berperan untuk meningkatkan GSA adalah fungsi proses belajar mengajar yang didukung oleh fungsi ketenagaan, dan fungsi sarana belajar.
Berdasarkan pada fungsi-fungsi yang telah diidentifikasi, maka perlu ditemukan faktor apa saja yang berpengaruh, baik faktor internal maupun eksternal dalam fungsi tersebut dan kemudian masukkan ke dalam tabel analisis SWOT. Oleh karena sekolah memiliki lebih dari satu sasaran, maka setiap sasaran yang telah ditentukan harus dianalisis melalui analisis SWOT.
Berikut diberikan contohmelakukan analisis SWOT untuk dua sasaran pertama yang ditentukan sekolah ‘X’ pada tahun 2002/2003 serta fungsi dan faktor-faktornya yang diperlukan untuk mencapai sasaran. Analisis SWOT untuk sasaran-1, yaitu peningkatan GSA minimal + 0,40 ditunjukkan pada Tabel-1(Contoh 1), sedangkan untuk sasaran-2, yaitu menjadi finalis pada turnamen bola voli tingkat Kota ditunjukkan pada Tabel-2 (Contoh 2).
Contoh 1:
Tabel-1. Analisis SWOT untuk Sasaran-1:
Peningkatan GSA minimal +0,40
Mata Pelajaran : ………………….
Fungsi dan Faktornya | Kriteria Kesiapan (Kondisi Ideal) | Kondisi Nyata
| Tingkat Kesiapan Faktor |
Siap | Tidak |
(1) | (2) | (3) | (4) | (5) |
A. | Fungsi Proses Belajar Mengajar (PBM) |
|
|
|
|
1. |
Faktor Internal : a. Motivasi belajar siswa
b. Motivasi Guru
c. Keragaman Metode mengajar
d. Keragaman Media Pembelajaran
e. Keragaman Penilaian oleh Guru
f. Dan seterusnya sesuai dengan kondisi dan tuntutan kurikulum/sekolah
|
· Tinggi, kriterianya: · 100% datang tepat waktu · 100% tugas selesai · 100% tertib di kelas · 100% disiplin berpakaian rapi · tidak ada siswa pulang sebelum waktunya · Tugas selesai sebelum waktunya · Dan sebagainya sesuai criteria ideal yang seharusnya
· Tinggi, kriterianya: · 100% datang tepat waktu · 100% mengajar tepat waktu · 100% tugas mengajar selesai sesuai rencana · Dan sebagainya sesuai criteria ideal yang seharusnya
· Bervariasi, kriterianya: · CTL · Ceramah · Diskusi · Tugas · PR · Tanya jawab · Dan sebagainya sesuai criteria ideal yang seharusnya
· Beragam sesuai tuntutan kompetensi, kriterianya: · 100% jumlah media terpenuhi · Media elektronik · Media modeling · Media alam sekitar · Media praktisi · Media benda sebenarnya · Media miniature · Media wallchart
· Beragam sesuai tuntutan kompetensi, kriterianya: · Penilaian harian · Penilaian tugas · Penilaian PR · Penilaian karya siswa · Penilaian penampilan/presentasi siswa · Penilaian portofolio · Penilaian blok · Penilaian sumatif · Penilaian kerajinan/kedisiplinan · Penilaian perilaku siswa · Dan sebagainya sesuai criteria ideal dalam penilaian
|
· Tinggi, kriterianya : · 100% datang tepat waktu · 100% tugas selesai · 100% tertib di kelas · 100% disiplin berpakaian rapi · tidak ada siswa pulang sebelum waktunya · Tugas selesai sebelum waktunya
· Tinggi, kriterianya: · 100% datang tepat waktu · 100% mengajar tepat waktu · 100% tugas mengajar selesai sesuai rencana · dll sesuai kondisi nyata
· Tidak banyak variasi : · Ceramah · Tanya jawab
· Kurang beragam, kriterianya: · 50% jumlah media terpenuhi · media wallchart · media alam sekitar
· Kurang beragam sesuai tuntutan kompetensi, kriterianya: · Penilaian harian · Penilaian tugas · Penilaian PR · Penilaian sumatif
|
Ö
√
|
√
√
√
|
2. | Faktor Eksternal : a. Lingkungan sosial sekolah
b. Lingkungan fisik sekolah
c. Dan seterusnya sesuai dengan kondisi dan tuntutan kurikulum/sekolah
|
· Sangat mendukung, kriterianya: · 100% aman · Mayoritas masyarakat agamis · Tidak ada tindakan kriminalitas · Tatakrama, perilaku masyarakat sangat sopan · Tidak ada tempat-tempat rawan, a-susila, a-moral, di sekitar sekolah · Jauh dari pusat-pusat keramaian · Mayoritas (100%) masyarakat peduli sekolah · Mayoritas berpenghasilan tinggi · Dan sebagainya sesuai criteria ideal yang seharusnya
· Sangat kondusif, kriterianya : · 100% bersih dari kotoran · Taman sekolah tertata sangat rapi, teratur, indah · 100% terpenuhi sarana sanitasi · Tidak ada kerusakan prasarana/sarana · 100% terpenuhi SPM prasarana · Rasa nyaman pada tiap ruang, kelas, dll · Dan sebagainya sesuai kriteria yang ideal
|
· Sangat mendukung, kriterianya: · 100% aman · Mayoritas masyarakat agamis · Tidak ada tindakan kriminalitas · Tatakrama, perilaku masyarakat sangat sopan · Tidak ada tempat-tempat rawan, a-susila, a-moral, di sekitar sekolah · Jauh dari pusat-pusat keramaian · Mayoritas (100%) masyarakat peduli sekolah · Mayoritas berpenghasilan tinggi · Dan sebagainya sesuai kondisi nyata
· Sangat kondusif, kriterianya : · 100% bersih dari kotoran · Taman sekolah tertata sangat rapi, teratur, indah · 100% terpenuhi sarana sanitasi · Tidak ada kerusakan prasarana/sarana · 100% terpenuhi SPM prasarana · Rasa nyaman pada tiap ruang, kelas, dll · Dan sebagainya sesuai kondisi sekolah
|
Ö
Ö
|
|
B. | Fungsi Pendukung PBM: Ketenagaan |
|
|
|
|
1. |
Faktor Internal : a. Jumlah guru
b. Kualifikasi guru
c. Kesesuaian bidang studi
d. Beban mengajar guru
e.Kompetensi guru
f. Dan seterusnya sesuai dengan kondisi dan tuntutan kurikulum/sekolah
|
· Terpenuhi, kriterianya : · Rasio guru - siswa = 1 : 36
· Terpenuhi, kriterianya : · 100% guru minimal D3
· Terpenuhi, kriterianya : · 100% guru dengan latar belakang bidang studi sesuai dengan mapel yang diajarkan
· Terpenuhi,kriterianya : · Rata-rata 18-24 jam pelajaran per minggu
· Terpenuhi,kriterianya : · 100% kompetensinya tinggi (dr hasil tes kompetensi) |
· Terpenuhi,kriterianya : · Rasio guru - siswa = 1 : 36
· Terpenuhi,kriterianya : · 100% guru minimal D3
· Terpenuhi,kriterianya : · 100% guru dengan latar belakang bidang studi sesuai dengan mapel yang diajarkan
· Terpenuhi,kriterianya : · Rata-rata 18-24 jam pelajaran per minggu
· Terpenuhi,kriterianya : · 100% kompetensinya tinggi (dr hasil tes kompetensi)
|
Ö
Ö
Ö
Ö
Ö
|
|
2. | Faktor Eksternal :
a. Pengalaman mengajar Guru
b. Persiapan mengajar guru
c. Fasilitas dan kesempatan pengembangan guru
d. Dan seterusnya sesuai dengan kondisi dan tuntutan kurikulum/sekolah
|
· Terpenuhi, kriterianya: · Rata-rata ³ 5 tahun · Mengajar sesuai bidangnya · Dan sebagainya sesuai criteria yang ideal
· Terpenuhi, kriterianya terdapat kelengkapan 100% seperti: · Satuan/scenario pembelajaran · Perangkat penilaian PBM · Ketersediaan media yang akan dipergunakan · Buku pokok/wajib · Buku penunjang · Buku latihan · Presensi siswa · Dan sebagainya sesuai criteria yang ideal
· Terpenuhi,kriterianya: · 100% guru membuat karya tulis · 100% pengalaman penataran kompetensi guru (PTBK) · 100% guru melakukan penelitian · 100% guru diberikan kesempatan pendidikan yang lebih tinggi · Dan sebagainya sesuai criteria yang ideal
|
· Terpenuhi, kriterianya: · Rata-rata ³ 5 tahun · Mengajar sesuai bidangnya · Dan sebagainya sesuai kondisi nyata sekolah
· Terpenuhi, kriterianya terdapat kelengkapan 100% seperti: · Satuan/scenario pembelajaran · Perangkat penilaian PBM · Ketersediaan media yang akan dipergunakan · Buku pokok/wajib · Buku penunjang · Buku latihan · Presensi siswa · Dan sebagainya sesuai kondisi nyata sekolah
· Kurang terpenuhi, kriterianya: · 10% guru membuat karya tulis · 10% pengalaman penataran kompetensi guru (PTBK) · 3% guru melakukan penelitian · 1% guru diberikan kesempatan pendidikan yang lebih tinggi · Dan sebagainya sesuai kondisi nyata sekolah
|
Ö
Ö
|
Ö
|
C. | Fungsi Pendukung PBM: Sarana/Perpustakaan |
|
|
|
|
1. |
Faktor Internal a. Buku setiap mata pelajaran
b. Jumlah buku penunjang
c. Lemari / rak buku
d. Pengelola perpustakaan
f. Dana pengembangan perpustakaan
g. Dan seterusnya sesuai dengan kondisi dan tuntutan kurikulum/ sekolah
|
· Terpenuhi,kriterianya: · Rasio siswa-buku = 1 : 1
· Terpenuhi,kriterianya: · Rasio siswa-buku = 1 : 1
· Terpenuhi,kriterianya: · 100% buku tersimpan di lemari/rak
· Terpenuhi,kriterianya: · Rasio ruang perpustakaan – petugas : 1 : 1
· Terpenuhi, kriterianya: · Minimal dianggarkan 20% dari total anggaran di RAPBS · Dianggarkan tiap tahun · Minimal dikelngkapi dengan: jaringan SIM perpustakaan · Dan sebagainya sesuai criteria yang ideal
|
· Kurang terpenuhi, kriterianya: · Rasio siswa-buku = 10 : 1
· Kurang terpenuhi, kriterianya: · Rasio siswa-buku = 15 : 1
· Kurang terpenuhi, kriterianya: · 50% buku tersimpan di lemari/rak
· Terpenuhi,kriterianya: · Rasio ruang perpustakaan – petugas : 1 : 1
· Kurang terpenuhi, kriterianya: · Dianggarkan <2% dari total anggaran di RAPBS · Dianggarkan tiap 3 tahun · Tidak ada jaringan SIM perpustakaan · Dan sebagainya sesuai kondisi nyata
|
Ö
|
Ö
Ö
Ö
Ö |
2. | Faktor Eksternal :
a. Dukungan orangtua dalam melengkapi perpustakaan
b. Kerjasama dengan perpustakaan lain
c. Dan seterusnya sesuai dengan kondisi dan tuntutan kurikulum/ sekolah
|
· Dukungan besar, kriterianya: · Ada sumbangan dana dr tiap orang tua anak seharga minimal 10 buku tiap tahun; · Ada sumbangan dana dr orang tua seharga 2 rak buku/almari untuk tiap kelas tiap tahun · Ada sumbangan pemasangan jaringan/SIM di perpustakaan secara lengkap dan siap pakai. · Ada sumbangan majalah, jurnal, tabloid, dll tiap bulan · Dan sebagainya sesuai dengan kriteria idealnya.
· Ada kerjasama, kriterianya: · Ada MoU/Piagam Kerjasama/Surat Perjanjian · Ada tukar pengalaman/kunjungan · Ada kerjasama magang tenaga · Saling membantu buku-buku · Dan sebagainya sesuai dengan kriteria idealnya.
|
· Kurang dukungan, kriterianya: · Tidak ada sumbangan dana dr tiap orang tua anak · Tidak ada sumbangan dana dr orang tua tentang rak buku/almari · Tidak ada sumbangan pemasangan jaringan/SIM di perpustakaan · Tidak ada sumbangan majalah, jurnal, tabloid, dll · Dan sebagainya sesuai dengan kondisi nyata sekolah
· Kurang kerjasama, kriterianya: · Tidak ada MoU/Piagam Kerjasama/Surat Perjanjian · Tidak ada tukar pengalaman/kunjungan · Tidak ada kerjasama magang tenaga · Tidak ada Saling membantu buku-buku · Dan sebagainya sesuai dengan kondisi nyata |
|
Ö
Ö
|